Gunung Penangungan (1.659 mdpl)

Gunung Penanggungan dengan ketinggian (1.659 mdpl) dahulunya bernama Gunung Pawitra yang artinya kabut, karena puncaknya yang runcing selalu tertutup kabut. Gunung Penanggungan dikelilingi oleh empat gunung di sekitarnya, yaitu Gn. Gajah Mungkur (1.084 m), Gn. Bekel (1.240 m), Gn.Sarahklopo (1.235 m), dan Gn. Kemuncup (1.238 m). Gunung Penanggungan terletak di sebelah utara Gunung Arjuna (3339 m) dan Gunung Welirang (3156m).

Ada empat jalur pendakian, yaitu jalur (1) Betro, Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol; (2) Petirtaan Jalatunda, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas; (3) kawasan vila Trawas; dan Kecamatan Ngoro. Jalur pertama dari arah utara, Kabupaten Pasuruan, dan tiga jalur lainnya dari arah barat, wilayah Kabupaten Mojokerto.

Jalur pendakian yang umum digunakan dicapai dengan kendaraan bermotor dari Surabaya atau Malang menuju ke Pandaan, lalu ke Trawas dan terakhir aspal di Jolotundo. Perjalanan dilanjutkan melalui jalan setapak yang relatif mudah. Disarankan membawa pemandu yang mengetahui lokasi peninggalannya.


Salah satu bagian kitab Jawa Kuno Tantu - Panggelaran yang digubah sekitar paruh pertama abad ke-16, menguraikan perihal mitologi gunung itu. Dikisahkan bahwa semula Jawadwipa selalu bergoncang goncang, terombang- ambing oleh ombak Samudra India dan Laut Jawa.

Para dewa di kahyangan telah memutuskan bahwa Tanah Jawa itu cukup baik untuk perkembangan peradaban manusia selanjutnya, oleh karena itu harus dihentikan goncangannya. Mereka lalu beramai-ramai memindahkan Gunung Mahameru (pusat alam semesta) yang semula tertancap di Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa dengan cara menggotongnya bersama-sama, terbang di angkasa.

Selama perjalanan, bagian-bagian lereng Gunung Mahameru berguguran, maka terciptalah rangkaian gunung-gunung dari Jawa bagian barat hingga Jawa Timur. Tubuh Mahameru yang berat jatuh berdebum menjadi Gunung Sumeru atau Semeru sekarang, gunung tertinggi di tanah Jawa.

Sedangkan puncaknya dihempaskan oleh para dewa jatuh di daerah selatan Mojokerto, menjelma menjadi Gunung Penanggungan sekarang, atau gunung berkabut Pawitra yang sebenarnya bagian puncak Mahameru.

Tak mengherankan kiranya apabila Gunung Pawitra telah dimuliakan sejak waktu yang lama. Berdasarkan bukti-bukti sejarah dan peninggalan arkeologi yang ditemukan di lerengnya, diketahui Penanggungan disakralkan sejak abad 10 M. Inkripsi tertua yang ditemukan adalah prasasti suci yang bertanggal 18 September 929 M. Prasasti itu dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok yang memerintahkan agar Desa Cunggrang dijadikan daerah bebas pajak (sima), penghasilan desa itu dipersembahkan bagi pemeliharaan bangunan suci Sanghyang Dharmasrama ing Pawitra dan Sanghyang Prasada Silunglung. Berdasarkan berita prasasti tersebut dapat ditafsirkan, pada masa itu telah terdapat bangunan suci (prasada) dan asrama bagi para pertapa di Pawitra.

Adalah pemandian kuna (patirthan) Jalatunda yang terdapat di lereng baratnya. Pemandian itu dibangun pada tahun 899 - 977 M dan masih mengalirkan air hingga sekarang. Airnya dianggap amerta (air keabadian) karena ke luar langsung dari tubuh Mahameru, gunung pusat alam yang di puncaknya terdapat swarloka, persemayaman dewa - dewa. Diduga, dahulu pernah bertakhta arca Wisnu sebagai dewa kesejahteraan manusia di bagian tengah pemandian, sekarang telah raib entah ke mana.

Air Jalatunda juga dipercaya oleh penduduk sekitar Mojokerto, Surabaya, Malang, Pasuruan sebagai air bertuah. Seseorang yang minum dan mandi di pancuran airnya (jaladwara) dapat menenteramkan pikirannya yang kacau, dan juga dipercaya dapat membuat awet muda. Ketika AIRLANGGA muda mengungsi dari Kerajaan Dharmawangsa Teguh yang hancur akibat serangan dahsyat WURAWARI (1016 M), ia lalu menyingkir ke Wanagiri, diiringi sahabat setianya

HAYAM WURUK (1350 -1389 M), raja Majapahit yang suka jalan-jalan itu pun pernah mampir di lereng timur Pawitra untuk menikmati keindahan. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh 58 : 1, sang raja singgah di Cunggrang, asrama para pertapa yang terletak di tepi jurang yang curam. Dari tempat itu pemandangan ke arah Pawitra sangat menawan.

Peninggalan sejumlah besar monumen dan artefak dari masa silam (abad 10 - 16 M) di lereng Penanggungan itu dilaporkan oleh arkeolog Belanda WF. STUTTERHEIM (1925). Eksplorasi awal itu hanya mengungkapkan kekayaan peninggalan kuna di kawasan tersebut. VR. VAN ROMONDT, insinyur yang arkeolog, mengadakan penelisikan secara menyeluruh di situs Gunung Penanggungan. Hasilnya sungguh menakjubkan!

Di Penanggungan ditemukan tidak kurang dari 80 kepurbakalaan. Terdapat sekitar 50 monumen berupa punden berundak-undak dengan tiga altar persajian di teras teratasnya. Dinding punden-punden berundak adayang dihias dengan relief centa Sudhamala (kisah ruwat Dewi Durga), Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna dengan Bidadari), Panji (kisah roman antara putra mahkota Janggala dan putri Kediri), Ramayana, dan kisah-kisah hewan. Kepurbakalaan lainnya berupa gua-gua pertapaan, deretan anak tangga batu mendaki bukit, area-area, gentong-gentong batu, altar persajian tunggal, batu dihias relief, prasasti, ribuan pecahan gerabah dari berbagai bentuk.

Berdasarkan tafsiran dari berbagai bentuk data yang tersedia, baik berupa monumen, area-area, prasasti, uraian kitab kuna Arjunawiwaha, Nagara krtagama, Arjunawijaya, Tantu Panggelaran, dan lainnya lagi, dapat diketahui dalam era Hindu-Buddha di Jawa, Gunung Pawitra merupakan pusat kegiatan kaum resi atau karsyan. Para resi adalah mereka yang mengundurkan diri dari dunia ramai, memilih hidup menyepi di keheningan alam pegunungan dan kehijauan hutan yang masih asri.

Gunung Pawitra dijadikan pusat aktivitas keagamaan kaum resi, tentu berdasarkan pemikiran bahwa Pawitra tidak lain dari puncak Mahameru itu sendiri. Apabila para resi dan kaum pertapa itu bermukim di lerengnya, berarti lebih mendekati rahmat dewa, lebih mudah berkomunikasi dengan dunia Swarloka, tempat Girinatha (Siwa) dan dewa-dewa lainnya bersemayam.
Baca lebih lanjut »

Coban Sumber Pitu di Pujon Kidul

Sudah sering ke Malang dan melihat beberapa air terjun atau coban, lalu merasa sudah kenal banget Malang dan bosan ke kota itu lagi?... Jangan mengaku sudah menjelajah Malang kalau belum ke Coban Sumber Pitu atau air terjun tujuh sumber. Memang terdapat tujuh air terjun di kawasan indah itu.

Air Terjun atau Coban Sumber Pitu Pujon ini tepatnya berada di desa Tulung Rejo, Kec. Pujon Kidul Kab. Malang. Untuk menuju Air Terjun Sumber Pitu ini dari kota Malang kita bisa menuju arah Batu, kemudian baru di lanjut menuju Kecamatan Pujon kidul.

Pujon Kidul sendiri tepatnya di sebelah kiri persis Gapura masuk Coban Rondo, disebelah Gapura tersebut akan ada perempatan kecil menuju Pujon kidul, Anda masuk saja jalan tersebut kira-kira sekitar 3 km, nanti di kiri jalan akan ada petunjuk menuju desa Tulungrejo, ikuti jalan tersebut sampai mentok kemudian belok kanan sampai menemukan jalan yang masih berupa tanah yang biasa digunakan untuk offroad, ikuti jalan offroad tersebut sampai nanti bertemu sebuah tanah lapang yang cukup luas  yang banyak ditumbuhi pohon pinus, di situ Anda berhenti dan memarkir kendaraan.

Setelah memarkir kendaraan, cari jalan tanah yang konturnya paling menanjak, tepatnya sebelah kiri jalan. Perkiraan waktu tempuh antara 2-3 jam, tergantung fisik, setelah melewati trek tersebut ada air terjun yang oleh warga sekitar disebut juga Coban Papat, jika sudah sampai di sini berati perjalanan sudah mendekati Sumber Pitu, tinggal naik sedikit lagi dan sampai, tetap berhati-hati karena medan cukup lumayan, setelah melalui medan yang bisa di katakan cukup berat, Anda akan segera sampai di Coban Sumber Pitu Pujon, perjuangan Anda pasti terbayar lunas dengan melihat keindahan ciptaan Sang Khaliq ini.







Penting!!!
Untuk berkunjung ke Sumber Pitu, wajib hukumnya membawa pulang kembali sampah-sampah yang kita bawa sebelumnya.

Coban Sumber Pitu (source image: Backpacker Indonesia)
Baca lebih lanjut »

Gunung Butak


Gunung Butak adalah gunung stratovolcano yang terletak di Jawa Timur, Indonesia. Gunung Butak terletak berdekatan dengan Gunung Kawi. Tidak diketemukan catatan sejarah atas erupsi dari Gunung Butak sampai saat ini.

Gunung ini berada pada posisi -7,922566˚ dan 112,451688˚ dengan ketinggial 2.868 mdpl(9,409 ft). Tidak diketemukan catatan sejarah atas erupsi dari Gunung Butak sampai saat ini.

Topografi
Gunung Butak keseluruhan memiliki konfigurasi lahan bervariasi antara lain sedikit datar dan luas, kebanyakkan jalur pendakiannya terjal dan melewati kebun teh .

Iklim
Gunung Butak termasuk gunung dengan tipe iklim C dan D dengan suhu kurang lebih 0˚C - 10˚C pada malam hari. Sedangkan pada pagi hari hingga siang harinya suhu berkisar antara maximum 15˚C Tipe Hutan: Gunung Butak merupakan hutan hujan tropis dan hutan lumut.


Perjalanan

Untuk mendaki Gunung Butak pendaki dapat melalui berbagai jalur berikut, yaitu :
  • Lewat jalur desa Semen - Gandusari - Blitar ( via Sirah Kencong)
  • Lewat jalur desa Wonosari (belakang Keraton Gunung kawi) Kepanjen-Malang, Atau lewat desa Maduarjo Jalur ada di belakang Pabrik Susu (jalur ini adalah jalur penduduk mencari kayu di sini tidak ada pos perijinan )
  • Lewat jalur Desa Gadingkulon-Dau-Malang,
  • Lewat dari bukit Panderman Batu-Malang
Jalur yang digunakan pada pendakian di Gunung Butak ini adalah jalur Sirah Kencong yang merupakan jalur resmi. Surat izin pendakian didapat dari PTPN setelah mendapat persetujuan dari Polsek Wlingi.




Pencapaian Puncak Gunung Butak

Adapun daerah-daerah yang akan dilalui untuk mencapai puncak Gunung Butak, yaitu:
  • Pos 1, merupakan tempat yang datar dan luas dan merupakan hutan hujan tropis
  • Pos 2, juga masih berupa hutan hujan tropis tapi tidak selebat pada pos 1, pos ini kondisi tanahnya miring dan tidak terlalu lebar
  • Pos 3, Jarak pos 2-3 merupakan jarak yang terdekat, kondisinya tidak terlalu jauh beda dengan pos 2, cuman hutannya mulai didominasi oleh pohon-pohon tinggi yang sudah kering
  • Pos 4, Hutannya mulai didominasi oleh pohon-pohon tinggi yang sudah kering
  • Pos 5, Setelah melewat pos 4 kita akan memasuki hutan lumut di mana tumbuhan-tumbuhan di hutan ini rata-rata ditempeli lumut-lumut sesuai dengan namanya.
  • Puncak, Jarak dari pos 5 sampai puncak hanya sekitar 15 menit.

Vegetasi

Vegetasi berikut ini diteliti berdasarkan ketinggian menggunakan Teori Junghunh via jalur Sirah-Kencong dengan metode inventaris.

Ketinggian 1400 – 1500 mdpl
  • Kecubung Gunung (Brugmansia Suaveolens)
  • Paku (Diplazium esculentum)
  • Pisang Batu (Musa acuminate)
  • Mlandingan Gunung (Paraserianthes lophantha)
Ketinggian 1500 – 2500 mdpl
  • Alang-alang (Imperata cylindrical)
  • Cantigi (Vaccinium Faringiaefolium)
  • Congkok (Curculigo sp)
  • Timun Hutan (Trichosanthes cucumeroides maxim)
  • Bandotan (Ageratum conyzoides L.)
  • Wali Songo (Schefflera sp.)
  • Kirinyuh (Eupatorium inulifolium Kunth)
Ketinggian 2500 – 2868mdpl
  • Cemara (Casuarina junghuniana)
  • Edelweiss (Anaphalis Javanica)
  • Semanggi Gunung (Marsilea crenata Presl)
  • Ageratina riparia
  • Arbei Gunung (Rubus Lineatus)
  • Daun Rusa (Justicia Gendarussa)

sumber : wikipedia

Expedisi 2015 Balung Tuwek ke Gunung Butak:








Baca lebih lanjut »

Penambang Belerang di Kawah Ijen

Inilah salah satu pesona keindahan alam Indonesia yang luar biasa dan telah memukau banyak wisatawan dari berbagai negara. Di sinilah dapat Anda lihat danau kawah luas yang menakjubkan bersama api berwarna biru dari belerangnya saat malam hari.

Selain menjadi tujuan wisata naik gunung, Kawah ijen juga merupakan tempat penambangan belerang tradisional terbesar di Indonesia yang hilir-mudik di arena bekas letusan.

Dini hari pukul 01.00, saat Matahari belum membiaskan pijarnya menguak keindahan danau kawah ini ada keajaiban lain yang dihadirkan Ijen. Di bawah kawahnya berpijar api biru (blue fire) dari cairan belerang yang mengalir tanpa henti untuk dikeringkan oleh angin kemudian menjadi batu dan dicacah para penambang. Bongkahan belerang tersebut kemudian ditempatkan pada dua keranjang kayu dan dipikul menuruni gunung sejauh 3 km. Bukan beban yang ringan sebab berat keranjang yang dipikul tersebut bisa mencapai 100 kg.


Penambang Belerang Kawah Ijen dalam Gambar:







Baca lebih lanjut »

Memancing Cakalang Dengan Teknik Huhate di Larantuka

Pernahkah Anda mendengar istilah Huhate?.... Huhate adalah salah satu teknik memancing yang sering digunakan oleh sebagian besar nelayan di Indonesia Timur.

Huhate tidak dapat dipisahkan dengan para nelayan pemburu Cakalang. Kegiatan memancing Cakalang lebih banyak menggunakan huhate untuk mendapatkan ikan dalam jumlah banyak namun dengan waktu yang relatif lebih singkat. Konon seorang pemancing bisa memancing 40 – 50 ekor per menit.

Kelompok Nelayan di Larantuka menerapkan praktik perikanan yang bersahabat dan berkelanjutan dengan teknik Huhate (pole and line). Ini adalah solusi yang harus kita sebar luas demi menjaga masa depan laut kita tetap sehat dan terlindung dari praktik penangkapan ikan yang merusak

Untuk memancing menggunakan huhate, biasanya kelompok nelayan memakai kapal khusus yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga pemancing bisa duduk atau berdiri mengelilingi tepian kapal.

Huhate sebenarnya mirip seperti joran yang dipakai kebanyakan nelayan, namun masih sangat tradisional. Tangkai pancingnya menggunakan bambu khusus yang lentur, kemudian kail yang tidak berkait diikat pada seutas tali. Pada kail Huhate biasanya diberi bulu ayam atau potongan tali rafia sehingga menyamarkannya dari penglihatan ikan. Tak lupa diberi pemberat untuk memudahkan pemancing mengarahkan kailnya ke laut. Apabila tidak menggunakan pemberat, kemungkinan besar kail akan melayang tak karuan karena angin.


Umpan yang digunakan adalah ikan teri yang diambil dari pukat teri atau bagan, diusahakan tetap hidup agar lebih mudah memancing sekumpulan cakalang. Untuk memulai pemancingan, pertama-tama para nelayan mencari posisi ikan, kemudian umpan dilepas disekitar kapal setelah itu kegiatan memancingpun dilakukan. Hampir seluruh tepian kapal terdapat instalasi pipa untuk menyemprotkan air guna mengelabuhi ikan.

Memancing dengan menggunakan huhate terbilang sangat efektif, karena ikan-ikan kecil tidak ikut tertangkap.

Huhate (Pole and Line)
Sebelum pemancingan, dilakukan penyemprotan air untuk mempengaruhi visibility ikan terhapap kapal atau para pemancing. Adanya faktor umpan hidup inilah yang membuat cara penangkapan ini menjadi agak rumit. Hal ini disebabkan karena umpan hidup harus sesuai dalam ukuran dan jenis tertentu, disimpan, dipindahkan, dan dibawa dalam keadaan hidup. Ini berarti diperlukan sistem penangkapan umpan hidup dan desain kapal yang sesuai untuk penyimpanan umpan supaya umpan hidup dapat tahan sampai waktu penggunaannya. Secara umum alat tangkap pole and line terdiri atas joran (bambu atau lainnya) untuk tangkai pancing, /polyethylene/ untuk tali pancing dan mata pancing yang tidak berkait terbalik.

Terdapat beberapa keunikan dari alat tangkap huhate. Bentuk mata pancing huhate tidak berkait seperti lazimnya mata pancing. Mata pancing huhate ditutupi bulu-bulu ayam atau potongan rafia yang halus agar tidak tampak oleh ikan. Bagian haluan kapal huhate mempunyai konstruksi khusus, dimodifikasi menjadi lebih panjang, sehingga dapat dijadikan tempat duduk oleh pemancing. Kapal huhate umumnya berukuran kecil. Di dinding bagian lambung kapal, beberapa cm di bawah dek, terdapat sprayer dan di dek terdapat beberapa tempat ikan umpan hidup. Sprayer adalah alat penyemprot air.

Alat tangkap pole and line ini adalah sebagi berikut:

1. Joran /(galah)
Bagian ini terbuat dari bambu yang cukup tua dan mempunyai tingkat elastisitas yang baik. Yang umum digunakan adalah bambu yang berwarna kuning. Panjang joran berkisar 2 – 2,5 m dengan diameter pada bagian pangkal 3 – 4 cm dan bagian unjuk sekitar 1 – 1,5 cm. Sebagaimana telah banyak digunakan joran dari bahan sintesis seperti plastik atau fibres.

2. Tali utama /(main line)
Terbuat dari bahan sintesis/polyethylene/ dengan panjang sekitar 1,5 – 2 m yang disesuaikan dengan panjang joran yang digunakan, cara pemancingan, tinggi haluan kapal dan jarak penyemprotan air. Diameter tali 0,5 cm dan nomor tali adalah No 7.

3. Tali sekunder
Terbuat dari bahan monofilament berupa tali berwarna putih sebagai pengganti kawat baja /(wire leader)/ dengan panjang berkisar 20 cm. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terputusnya tali utama dengan mata pancing sebagai akibat gigitan ikan cangkalang.

4. Mata pancing /(hook) Yang tidak berkait balik
Nomor mata pancing yang digunakan adalah 2,5 – 2,8. Pada bagian atas mata pancing terdapat timah berbentuk slinder dengan panjang sekitar 2 cm dan berdiameter 8 mm dan dilapisi nikel sehingga berwarna mengkilap dan menarik perhatian ikan cangkalang. Selain itu, pada sisi luar silender terdapat cincin sebagai tempat mengikat tali sekunder. Dibagian mata pancing dilapisi dengan guntingan tali rafia berwarna merah yang membungkus rumbia-rumbia tali merah yang juga berwarna sebagai umpan tiruan. Pemilihan warna merah ini disesuaikan dengan warna ikan umpan yang juga berwarna merah sehingga menyerupai ikan umpan.

Dalam pelaksanaan operasi dengan alat pole and line ini di samping digunakan umpan tiruan berupa sobekan-sobekan kain, guntingan tali rafia, ataupun bulu ayam juga digunakan umpan hidup. Umpan hidup ini dipakai untuk lebih menarik perhatian ikan cakalang agar lebih mendekat pada areal untuk melakukan pemancingan. Sedangkan dalam melakukan operasi pemancingan digunakan pancing tanpa umpan. Hal ini bertujuan untuk efisiensi dan efektifitas alat tangkap, karena ikan cakalang termasuk pemangsa yang rakus. Hal ini sesuai dengan pendapat ayodhya (1981) bahwa jika ikan makin banyak dan makin bernafsu memakan umpan, maka dipakai pancing tanpa umpan dan mata pancing ini tidak beringsang
(tidak berkait).

Umpan
Umpan yang digunakan adalah umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan umpan dilempar ke perairan akan berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini akan mengundang cakalang untuk mengikuti naik ke dekat permukaan. Selanjutnya dilakukan penyemprotan air melalui sprayer. Penyemprotan air dimaksudkan untuk mengaburkan pandangan ikan, sehingga tidak dapat membedakan antara ikan umpan sebagai makanan atau mata pancing yang sedang dioperasikan. Umpan hidup yang digunakan biasanya adalah teri /(Stolephorus spp.)/.

Teknik
Teknik operasi penangkapan ikan menggunakan pole and line yaitu, setelah semua persiapan telah dilakukan, termasuk penyediaan umpan hidup, maka dilakukan pencarian gerombolan ikan oleh seorang pengintai yang tempatnya biasanya dianjungan kapal, dan menggunakan teropong. Pengoperasian bisa juga dilakukan didekat rumpon yang telah dipasang terlebih dahulu. Setelah menemukan gerombolan ikan harus diketahui arah renang ikan tersebut baru kemudian mendekati gerombolan ikan tersebut. Sementara pemancing sudah harus bersiap masing-masing pada sudut kiri kanan dan haluan kapal. Cara mendekati ikan harus dari sisi kiri atau kanan dan bukan dari arah belakang.

Pelemparan umpan dilakukan oleh /bouy-bouy/ setelah diperkirakan ikan telah berada dalam jarak jangkauan pelemparan, kemudian ikan dituntun ke arah haluan kapal. Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan dapat mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan umpan tersebut, mesin penyomprot sudah difungsikan agar ikan tetap berada didekat kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin kapal dimatikan. Sementara jumlah umpan yang dilemparkan kelaut dikurangi, mengingat terbatasnya umpan hidup. Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan diupayakan secepat mungkin mengingat kadang-kadang gerombolan ikan tiba-tiba menghilang terutama jika ada ikan yang berdarah atau ada ikan yang lepas dari mata pancing dan jumlah umpan yang sangat terbatas. Pemancingan biasanya berlangsung 15-30 menit.

Waktu pemancingan tidak perlu dilakukan pelepasan ikan dari mata pancing disebabkan pada saat joran disentuhkan ikan akan jatuh keatas kapal dan
terlepas sendiri dari mata pancing yang tidak berkait. Berdasarkan pengalaman atau keahlian memancing nelayan, pemancing kadang dikelompokkan kedalam pemancing kelas I, II, dan III. Pemancing kelas I (lebih berpengalaman) ditempatkan dihaluan kapal, pemancing kelas II ditempatkan disamping kapal, dekat kehaluan, sedangkan pemancing kelas III ke samping kapal agak jauh dari haluan. Untuk memudahkan pemancingan, maka pada kapal Pole and Line dikenal adanya ”flying deck” atau tempat pemancingan.

Pemancingan dilakukan serempak oleh seluruh pemancing. Pemancing duduk di sekeliling kapal dengan pembagian kelompok berdasarkan keterampilan memancing. Pemancing I adalah pemancing paling unggul dengan kecepatan mengangkat mata pancing berikan sebesar 50-60 ekor per menit. Pemaneing
I diberi posisi di bagian haluan kapal, dimaksudkan agar lebih banyak ikan tertangkap.

Pemancing II diberi posisi di bagian lambung kiri dan kanan kapal. Sedangkan pemancing III berposisi di bagian buritan, umumnya adalah orang-orang yang baru belajar memancing dan pemancing berusia tua yang tenaganya sudah mulai berkurang atau sudah lamban. Hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat pemancingan dilakukan jangan ada ikan yang lolos atau jatuh kembali ke perairan, karena dapat menyebabkan gerombolan ikan menjauh dari sekitar kapal.

Hal lain yang perlu diperhatikan pada saat pemancingan adalah menghindari ikan yang telah terpancing, jatuh kembali ke laut. Hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan yang ada akan melarikan diri ke kedalaman yang lebih dalam dan meninggalkan kapal, sehingga mencari lagi gerombolan ikan yang baru tentu akan mengambil waktu. Di samping itu, banyaknya ikan-ikan kecil di perairan sebagai /natural bait/ akan menyebabkan kurangnya hasil tangkapan. Jenis-jenis ikan tuna, cakalang, dan tongkol merupakan hasil tangkapan utama dari alat tangkap Pole and Line.


Baca lebih lanjut »